Selasa, 08 September 2009

Kunci Kegagalan

Kita semua tidak ingin gagal. Kita semua menghindari kegagalan.
Tetapi rupanya kegagalan sangat akrab dalam kehidupan kita. Banyak
target yang tak tercapai , banyak cita-cita yang tak terealisir, dan
banyak harapan tinggallah kosong.

Mengapa kita gagal dan tidak mencapai keberhasilan? Mengapa kita
belum berhasil dan menemui kegagalan? Apakah kegagalan merupakan
realitas wajib sehingga keberhasilan dapat kita apresiasikan?
Pertanyaan-pertanyaan diatas sering menghantui kita dan memerlukan
jawaban dari kita masing-masing.

Kegagalan tidak terjadi dalam semalam. Keberhasilanpun tidak dicapai
dalam sehari. Kedua tesis di atas sangat sederhana tetapi juga sangat
benar.

Saya teringat ucapan seorang dokter tetangga saya, ketika pulang
mengantarkan tetangga kami yang kena serangan jantung ke rumah sakit
gawat darurat. Dia berkata bahwa sebetulnya serangan jantung tidak
datang dengan tiba-tiba, tetapi bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh
tahun penyakit jantung telah ditimbun mulai dari merokok terlalu
banyak, minum kopi terlalu banyak, malas olahraga sehingga sedikit
demi sedikit pembuluh darah semakin menyempit.

Akhirnya sedemikian sempitnya sehingga kegagalan jantung terjadi.
Benarlah bahwa kegagalan jantung tidak terjadi dalam semalam
melainkan ditumpuk bertahun-tahun, sedikit demi sedikit.

Keberhasilan pun berlangsung dengan modus yang sama, sedikit demi
sedikit keberhasilan ditumpuk sedemikian rupa sehingga keberhasilan
itu lama kelamaan besar. Secara teoritis jika seseorang mempelajari
lima kata bahasa Inggeris perhari maka dalam setahun dia akan
memiliki hampir dua ribu kosa kata dan dalam lima tahun pasti bisa
menguasai sepuluh ribu kosa kata. Tetapi berapa banyakkah orang yang
lulus perguruan tinggi mampu berbahasa Inggris dengan lancar? Tidak
banyak. Mengapa? Karena mereka gagal menghafal lima bahasa Inggeris
perhari.

Masih banyak contoh dapat kita berikan tentang kebenaran tesis bahwa
keberhasilan adalah kemampuan mengambil langkah-langkah kecil untuk
mencapai hasil yang besar. Dan bahwa kegagalan adalah ketidakmampuan
menghindari hal-hal kecil sampai ia menumpuk sedemikian besar dan tak
terhindarkan lagi konsuekuensinya.

Maka rahasia kegagalan adalah gagal mengucapkan selamat pagi, gagal
mengucapkan terima kasih, gagal minta maaf, gagal mengurangi sepiring
nasi dari diet harian, gagal memberi perhatian pada seorang staff,
gagal mengusulkan kenaikan pangkat anak buah, gagal tersenyum, gagal
bertekun setengah jam, gagal berolahraga setengah jam per hari, gagal
sholat sepuluh menit per waktu, gagal membawa mobil ke bengkel untuk
servis rutin, gagal menabung 5% dari penghasilan per bulan, gagal
menutup mulut dari ucapan tak bermutu, dan ribuan kegagalan kecil
lainnya.

Orang bijak berkata berkata bahwa hal-hal kecil memang sepele, tetapi
setia pada perkara-perkara kecil adalah hal yang besar.

Minggu, 06 September 2009

Oleh Mas Nuhan wahyudi nuhan@telkom.net

Realitas Keseharian Kita*

Wajah negeri ini coreng-moreng dan sungguh muramHidup bukanlah untuk mengeluh dan mengaduh. Demikiankira-kira yang disampaikan Rendra dalam salah satupuisinya. Tapi, melihat Indonesia belakangan ini,bahkan sejak beberapa tahun terakhir, rasanya wajarsaja jika banyak orang Indonesia yang mengeluh danmengaduh. Saksikanlah bagaimana kaum politisi—terutamayang yang duduk dalam jajaran eksekutif, legislatif,dan yudikatif — “berakrobat” seolah hanya merekalah yangpaling berhak memegang kemudi, mengarahkan ke managerangan kapal besar yang bernama Indonesia ini akandilabuhkan, dan tak mau tahu bagaimana nasib parapenumpangnya saat ini dan kelak di kemudian hari.

Lihat juga bagaimana kejahatan merebak, mulai dariruangan berpenyejuk sampai di sela-sela gang yangpengap. Nyawa manusia pun menjadi murah harganya dannurani terpencil berdebu di pojok gelap. Hamba-hambahukum seakan tak berdaya dan tak sedikit yang menjadibagian dari dunia kejahatan nan kelam.

Kejahatan KemanusiaanTataplah pula orang-orang miskin yang semakin panjangsaja barisannya. Ada yang miskin karena malas, tapitak sedikit yang miskin karena “dimiskinkan oranglain”. Sekadar bahan pengingat, bukalah kembalikontroversi kenaikan upah minimum provinsi yang selamaberhari-hari terpampang menjadi kepala-kepala beritadi berbagai media massa. Ah, mengapa masih saja adamanusia yang ingin melenggang senang di atas jeritkesakitan orang lain?

Tenaga kerja memang melimpah di sini, apalagi denganadanya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Tapi,membayar buruh dengan upah yang benar-benar cukupsekadar untuk makan, tak bisa memperbaikikesejahteraan mereka, adalah kejahatan kemanusiaan,karena menistakan manusia menjadi sekadar makhluk yang seakan hanya memiliki kebutuhan biologis, takpunya kebutuhan psikologis, kebutuhan spiritual, dansebagainya. Dan, ketika materialisme mengepung, berapabanyak kebutuhan sekarang ini yang bisa dipenuhidengan cuma-cuma seratus persen? Mungkin, tak lebihdari hitungan jari sebelah tangan.
Trims Buat Mas Nuhan,